pondok putri

pondok putri

Musholla

Musholla
Musholla pprq

SAYA

Foto saya
Orang dusun, jauh dari ratu dekat dengan batu, hidup di lereng gunung merapi hidup bersama satu istri, empat anak.

Kisah Teladan

sardem: Politikus Sapi Rame-Rame Sruduk KPK

sardem: Politikus Sapi Rame-Rame Sruduk KPK: Status tersangka yang disematkan KPK terhadap Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dalam dugaan kasus suap impor daging membuat publik terkeju...

ZILZAAL: Ahli Neurology Austria Membeberkan Fakta Mengejutkan Tentang Wudhu

Kegiatan Pesantren

PERTEMUAN ALUMNI PPRQ BOGOR di PPTQ SALSABILA TEGAL


Khataman al-Qur’an di sebuah pesantren menjadi ajang silaturrohim bagi para alumni pesantren tersebut, namun lain dengan alumni pesantren Raudlotul Qur’an Bogor, meskipun yang melaksanakan acara Khotmil Qur’an Pondok Pesantren Salsabila di Tegal Jawa Tengah, namun para alumni PPRQ Bogor tetap mengadakan temu kangen di Pondok Pesantren Salsabila.
Pondok Pesantren Salsabila Tegal pada tanggal 3 Mei 2009 mengadakan acara khotmil Qur’an, jumlah santri yang di wisuda selesai hafalannya Qur’an 30 juz sebanyak sembilan orang, yang diundang untuk memberikan tausiyah KH. Mu’tashimbillah SQ, MPdI pengasuh Pontren Sunan Pandanaran Yogyakarta, dan KH. Muhammad Farhan Usman pengasuh Pontren Raudlotul Qur’an Bogor.
Ustadz Farikhin pengasuh Pontren Salsabila mengaku bahwa beliau adalah santri KH. Farhan pengasuh PPRQ Bogor, dan ketika selesai hafalan al-Qur’annya di Wisuda di Pontren Sunan Pandanaran Yogyakarta, maka sudah selayaknya bila alumni PPRQ khurmat khataman al-Qur’an di Salsabila sekalian mendakan temu kangen.
Alumni yang berangkat dari Yogyakarta antara lain; KH. Bustanul Arifin (Tempel), Ust. H. Zahri , Ust. H. Abdurrahman, Ust. Rubiyo Muzakki, Ust. Juwaini Abdul Aziz, Ust. Sarjiman Abdul Jabbar, Ust. Zudi, Ust. Jauzi, Ust. Abd. Salam, Ust. Najib (Bantul), Ust. Abdurrohim, ust. Joko (Solo), Muhammad Maqshudi (Sleman), Ust. Tamim (Purworejo), alumni dari Sunan Pandanadaran Ust. Faizin (Tempel) dan ust. Dakhori (Bantul), di Purwokerto rombongan Yogyakarta bertambah satu Ust. Taufik Hidayat (Purwokerto).
Dalam tausiyahnya KH. Mu’tashimbillah mengingatkan bahwa bagi santri yang telah khatam al-Qur’an hendaknya bisa memelihara dan meningkatkan pemahaman tentang al-Qur’an kemudian mengamalkan ajaran al-Qur’an sesuai dengan batas kemampuan kita, juga bagi siapa saja yang telah berusaha untuk menghafalkan al-Qur’an jangan pernah putus asa menjadi keluarga yang dapat menjadi ahlul Qur’an, sebab do’a dan usaha kita pasti akan tercapai, misalnya bukan kita yang mencapai mungkin anak kita, jika anak kita juga belum mencapai mungkin cucu kita, demikian seterusnya.
Menggaris bawahi dari apa yang telah di sampaikan oleh KH. Mu’tashimbillah, KH. Farhan Usman sebagai ahlul Qur’an kita tidak perlu untuk berebut mencari kursi (kedudukan), sebab kita telah memiliki kursi sendiri, asal kita ikhlas menjalankan apa yang kita lakukan maka Allah benar-benar akan memberikan apa yang kita inginkan.

Pondok Takhasuss litahfidzil Qur'an di Bogor Jawa Barat

Raudlotul Qur’an

Padurenan Ciburayut Cigombong Bogor Jawa Barat

Pondok Terpencil Dengan Prestasi Nasional


Di lereng gunung Salak dan gunung Gedhe, suasana pedesaan yang kental, jauh dari keramaian kota tanpa polusi udara maupun polusi suara, tepatnya di kampung Padurenan, desa Ciburayut, kecamatan Cigombong, kabupaten Bogor, Jawa Barat, akan kita temukan keasyikan sekelompok santri usia 15-30 tahunan, asyik bertadarus al-Qur’an tanpa melihat mushaf. Setelah dekat dan berkumpul dengan mereka yang sedang bertadarusb al-Qur’an itu kita akan mengetahui ternyata mereka adalah para santri hufadz dari salah satu pesantren yang ada di negeri ini. Pondok Pesantren Raudlotul Qur’an(PPRQ).Nama itu diberikan oleh hadlorotussyaikh KH. Mufid Mas’ud (Pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta, untuk pesantren yang diasuh oleh HM. Farhan Usman, dengan program tahasus li tahfidzil Qur’an (Program pokoknya menghafal al-Qur’an).

Meski berada di daerah yang terpencil. Kita akan merasa takjub kala melihat prestasi yang telah diukir oleh PPRQ diusianya yang menginjak tahun ke-23 ini, mereka telah menorehkan berbagai prestasi di tingkat Kabupaten, Propinsi, bahkan Nasional cabang tahfidz (hafalan al-Qur’an) maupun tafsir al-Qur’an bahasa Arab maupun bahasa Inggris.

Keberadaan PPRQ tak bisa lepas dari Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta (PPSPA). Selain pengasuhnya HM. Farhan Usman adalah salah satu alumni PPSPA, beliau juga utusan KH. Mufid Mas’ud (Pendiri PPSPA) untuk menjadi ustadz di Bogor demi pengembangan Islam dan lebih khusus pengembangan penghafalan al-Qur’an.

Kawah candra dimuka bagi calon Hafidz dan Hafidzoh (Penghafal Qur’an Putra-Putri)

Memasuki kota Bogor bagi orang luar kota tentu akan bingung mencari PPRQ, sebab memang PPRQ terletak di lereng gunung Salak dan gunung Gedhe dengan udara yang masih sangat sejuk jauh dari kebisingan kendaraan bermotor maupun pengapnya cerobong pabrik dan knapot kendaraan bermotor. Kalau kita ingin sampai ke PPRQ dari kota Bogor kita dengan kendaraan umum kita harus mencari kendaraan Jurusan Cicurug atau Sukabumi. Ketika sampai di stasiun Cigombong kita (dari kota Bogor setelah Lido, masuk kurang lebih 5 kilo meter lagi (bila kita menumpang kendaraan umum dari sini kita bisa langsung naik ojek dan tukang ojek sudah mengenal PPRQ), dari jalan Raya Bogor – Sukabumi pertigaan stasiun Cigombong sampai di Kampung Paduren, Kelurahan Ciburayut, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor jalan sudah diaspal oleh pemda. Sampai di PPRQ kita akan takjub dengan bangunan yang mirip dengan villa dengan pemandangan yang mengasikkan.

Penduduk kampung Padurenan sebagian besar adalah petani tradisioanal. Daerah Padurenan merupakan daeerah yang subur. Seperti pada umumnya masyarakat pedesaan yang amsih sederhana, masyarakat PPRQ demikian juga keadaannya. Namun untuk masalah kehidupan beragama mereka sangat religious, bahkan cenderung fanatic. Sebagai contoh sekitar tahun 1987 masyarakat yang mempunyai radio bisa dihitung dengan jari tangan, sampai sekarangpun masjid-masjid di sekitar PPRQ belum mau menggunakan pengeras suara, bukan karena tidak mampu membeli, namun mereka masih berpegang bahwa di masjid tidak boleh ada pengeras suara.

Keadaan masyarakat yang demikian sangat mendukung keberadaan PPRQ yang merupakan ajang penggemblengan santri mutahafidziin (penghafal al-Qur’an) yang butuh ketenangan.


Mengapa harus ke daerah terpencil

Tuhun 1986 ada seorang aghniya’ (orang yang mempuyai kelebihan harta) dan ulam dari Jakart yang mempunyai perkebunan jeruk datang menghadap KHM. Mufid Mas’ud di PPSPA Yogyakarta. Dan salah satu pembicaraan dan keinginan dari pemilik perkebunan itu adalah menjadikan perkebunannya sebagi perkebunan yang dapat bermanfaat dunia dan akhirat. Pemilik perkebunan menginginkan di kebun iitu didirikan pesantren. Pada prinsipnya Hadlorotussyaikh KHM. Mufid Mas’ud sangat setuju dengan keinginan tersebut.

Tak lama setelah pembicaraan itu, Hadlorotussyaikh KHM. Mufid Mas’ud observasi langsung ke Bogor untuk melihat lahan perkebunan yang dijanjikan itu. Hasil dari observasi dan mengadakan pertimbangan-pertimbangan baik dari segi dhohiriyah maupun bathiniyah, maka Hadlorotussyaikh KHM. Mufid Mas’ud memanggil salah satu santrinya yang bernama Muhammad Farhan diberikan kepercayaan dan tugas untuk menjadi salah satu calon yang akan mengisi jabatan pengasuh di Pesantren Bogor itu. Setengah tidak percaya Muhammad Farhan-pun hanya bisa sami’na wa atho’na dengan perintah Hadlorotussyaikh KHM. Mufid Mas’ud.

Tepat pada tangga 20 Agustus 1985 berangkatlah Muhammad Farhan bersama 1 orang santri yang telah selesai menghafal al-Qur’an (Mudzakir Lampung), 1 orang santri yang telah menghafal sebanyak 17 Juz (H. Zahri Bantul), 1 santri yang baru menghafal dan memiliki basis pendidikan kitab (Mu’alim Sleman) serta 30 santri yang baru mengenal pesantren. Diantar oleh almarhum bapak Sayid Usman (orang tua dari Muhammad Farhan), menumpang kereta api dari Jogjakarta, turun di stasiun Janinegara (Jakarta) singgah di rumah bapak H. Muhammad Dahlan (pemilik perkebunan), H. Muhammad Dahlan berdomisili di Pasar Jum’at Jakarta Selatan.

Setelah istirahat yang cukup, rombongan Ustadz Farhan diantar ke Bogor menuju tempat yang dijanjikan untuk mendirikan pesantren. Sejak saat itulah kegiatan belaj mengajar al-Qur’an yang diasuh oleh Ustadz Farhan dimulai.

Kurang lebih 9 tahun di PP Asmau’ Husna atas kemurahan Allah melalui hamba-Nya, Muhammad Farhan diberi kepercayaan untuk membeli sebidang tanah demi kemaslahatan ummat. Dari modal sebidang tanah, disertai do’a dari para orang tua dan guru-guru HM. Farhan Usman itu akhirnya bisa berdiri musholla, Asrama Putra, asrama Putri, dan madrasah/aula. Dan ustadz Farhan pun mendirikan pesaqntren sendiri. Atas anjuran Hadlorotussyaikh KH. Mufid Mas’ud, pesantren baru itu diberi nama PONDOK PESANTREN RAUDLOTUL QUR’AN (PPRQ)

Sistem pendidikan di PPRQ sama dengan sistem pendidikan yang ada di pondok-pondok takhasus menghafal al-Qur’an. Namun Ustadz Farhan lebih menekankan pada rasa tanggung jawab pada setiap individu. Contohnya santri boleh saja tidak mengaji tetapi harus tetap berani untuk disimak setiap saat.

Setiap jam 07.00 sampai dengan Dhuhur, santri diwajibkan masuk madrasah dengan diisi kajian-kajian kitab yang mendukung santri menjalankan syari’at Islam, seperti kitab Fiqih, kitab tauhid, kitab akhlaq, dan tentu saja kitab tafsir.


Pribadi eksentrik, radikal bahkan cenderung liberal.

Santri PPSPA Yogyakarta angkatan 1975 – 1985 tentu sangat akrab dengan seorang santri eksentrik, kadang-kadang radikal bahkan cenderung liberal. Santri yang berasal dari Kampung Todangsang, Kelurahan Tonggalan, Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Dialah Muhammad Farhan Usman. Pada tahhun 1980-an sebagai santri penghafal al-Qur’an berani mengadakan pentas orkes dengan peralatan yang cukup komplit untuk ukuran orkes pesantren pada waktu itu, terdiri dari guitar, bas, piano yang semuanya sudah elektrik.

Muhammad Farhan lahir di Klaten pada tahun 1960-an, putra dari pasangan almarhum Bapak Sayid Usman dan almarhum Ibu Farikhatun. Kedua orang tuanya masyarakat ‘am namun cukup dekat dengan para ulama, salah satunya almarhum KHR. Muhammad Sofwan Klaten(guru Hadlorotussyaikh KH. Mufid Mas’ud ketika ngaji di Mamba’ul Ulum Klaten). Karena kedekatannya dengan ulama, orang tua Ustadz Farhan yang dikaruniai 7 orang anak mempunyai pemikiran bahwa bila anaknya diberikan pendidikan pessantren akan sangat menghemat biaya(karena hidup di pesantren sangat murah apalagi pesantren al-Qur’an hanya sekali beli al-Qur’an dapat untuk mengaji selamanya). Hasilnyapun tentu akan menjadi orang pilihan. Ilmu yang didapat adalah ilmu yang dapat paling tidak bisa bermanfaat bagi dirinya, baik di dunia maupun di akhirat, syukur-syukur bisa bermanfaat bagi orang lain.

Sesuai dengan keinginan itu, selesai Sekolah Dasar (1972), Farhan muda dikirim ke Pesantren Krapyak Yogyakarta dengan diantar oleh ayah kandungnya didampingi pula oleh Mbah Sabrowi(kakek dari ibunya Farhan) dan juga Hadlorotussyaikh KHR. Mohammad Sofwan. Karena ingin menjadi santri Hadlorotussyaikh KH. Mufid Mas’ud, Farhan diterima dengan senang hati, Hadlorotussyaikh KH. Mufid sempat berpesan kepada orang tua Farhan agar menambah kesabarannya sebab mengingat Farhan berlatar belakang orang kota, “Biasanya anak kota memerlukan waktu untuk beradabtasi dengan kehidupan pesantren” begitu dawuh Hadlorotussyaikh KH. Mufid ketika pertama kali menerima Farhan sebagai santrinya.

Berkah do’a para sesepuh dan terutama bimbingan dan kesabaran dari almarhum Ibu Nyai Hajjah Jauharoh Mufid, dugaan bahwa Farhan yang anak kota akan lama beradabtasi dengan kehiidupan pesantren ternyata meleset, sebab Farhan cepat beradabtasi dengan kehidupan pesantren bahkan boleh dikatakan menikmati kehidupan pesantren itu.

Pada tahun 1975 Hadlorotussyaikh KH. Mufid hijrah ke PPSPA di daerah Yogyakarta bagian utara. Farhanpun bingung. Dia harus meneruskan pendidikannya di MTs. Krapyak (sebab waktu itu Farhan sudah menginjak kelas III MTs), atau akan tetap menghafal al-Qur’an dihadapan Hadlorotussyaikh KH. Mufid? Akhirnya setelah melalui pertimbangan yang matang dan saran dari para sesepuhnya Farhan memutuskan untuk menghafalkan al-Qur’an setelah selesai kelas III Madrasah Tsanawiyah di Krapyak. Menghafal al-Qur’an kurang lebih 4 tahun pada tahun 1980 dalam acara Haflah Tasyakur Khotmil Qur’an Panca warsa ( Hari Ulang tahun dan Hataman Pondok Pesantren Sunan Pandanaran ke-5), Farhan dinyatakan khatam al-Qur’an dengan bi-hifdzi (selesai hafalan al-Qur’an 30 juz).

Selama tinggal di PPSPA, Farhan mengaku senang apabila disuruh oleh Hadlorotussyaikh KH. Mufid untuk tidur di ndalem (Rumah Kyai), “Ruang tamu ndalem untuk menyimpan kitab-kitab milik dari Hadlorotussyaikh KH. Mufid Mas’ud, yang almarinya tidak dikunci. Kesempatan itu saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk membuka kitab-kitab itu sebagai bahan referensi saya” tutur Farhan.

Setelah khatam, dalam hati Farhan ada keinginan untuk melanjutkan pendidikannya pada jenjang pendidik formal, seperti di PTIQ atau bahkan ke Al-Azhar Cairo, namun ternyata Allah tidak memberikan kesempatan itu.

Tidak terpenuhinya keinginan melanjutkan ke pendidikan formal, tidak membuat Farhan putus asa, Farhan terus belajar. Bahkan Farhan diberikan kesempatan untuk bertabarukan mengaji kitab kepada Kyai-kyai sepuh di Kaliwung, Semarang dan juga pada Hadlorotussyaikh KH. Ali Shodiq Tulungagung Jawa Timur.



Tahun 1985 setelah dikirim ke Bogor sampai sekarangpun Farhan mengaku masih terus belajar dengan masyarakat, santri dan jika memang diberi kesempatan akan bertabarukan kepada Ulama sepuh.

Pesantren Terpencil dengan segudang prestasi

Musabaqoh Tiwatil Qur’an (MTQ) maupun Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ), merupakan salah stu ajang untuk syi’ar al-Qur’an. HM. Farhan Usman sebagai pengasuh PPRQ merasakan seandainya hanya mengandalkan pesantren yang berada di daerah yang terpencil, tentu kumandang al-Qur’an tidak akan bisa terdengar oleh masyarakat luas. Maka berbekal pengalaman dan arahan KH. Mu’tasjimbillah, SQ. MPd.I (Pengasuh PP. Sunan Pandanaran Yogyakarta pengganti Hadlorotussyaikh KH. Mufid Mas’ud), yang pernah menjadi juara STQ Nasional bahkan masuk rangking 10 besar tingkat internasional bidang tafsir al-Qur’an, KH. Farhan pun mengikuti jejak itu. Dengan restu dari Hadlorotussyaikh KH. Mufid Mas’ud, pada tahun 1990 KH. Farhan mengikuti STQ Nasional di Jakarta di bidang Mufasir bahasa Arab dan mendapatkan rangking II. Pada tahun berikutnya 1991 mengikuti lagi STQ tingkat Nasional di Palangkaraya dan mendapat rangking ke II dalam bidang Mufasir Bahasa Arab.

Berbekal pengalamanya mengikuti STQ Nasiional itu, KH. Farhan Usman mulai mengutus santrinya untuk mengikuti MTQ maupun STQ dari tingkat Kabupaten, Propinsi bahkan masuk ke tingkat Nasional, prestasi yang menakjubkanpun diperolehnya. Pada tahun 1994, Hj. Dewi Nur Atiqoh menjdi Juara III MTQ Nasional di Pekan Baru bidang Mufasiroh bahasa Arab. Tahun 1995, lagi-lagi Hj. Dewi Nur Atiqoh diberi kesempatan untuk menjadi juara I STQ nasional di Palu Sulawesi bidang mufasiroh bahasa Arab. Tahun 1997, H. Musta’in mendapatkan juara I STQ Nasional di Ambon bidang Mufasir bahasa Arab. Tahun 2001, Iffah Fitriyah, Juara Harapan III STQ di Jakarta bidang Mufasiroh bahasa Arab. Tahun 2003, Ade Zaenal Muttaqin, Juara I MTQ Nasional di Mataram, bidang MHQ 10 Juz. Pada tahun 2006, Taufiq Baihaqi Marfa’ung, Juara I MTQ Nasional bidang Mufasir bahasa Inggris.H Ade zainal Muttaqin juara II MTQ Nasional di Banten bidang MHQ 20 juz putra tahun 2008. Pada tahun yang samaYayat Sukriyati menjadi juara I MTQ Nasional di Banten bidang MHQ 20 juz putri.

Kita mengikuti musabaqoh dengan tujuan menjadi yang terbaik. Terbaik di Mata Allah dan di mata manusia,” begitu pesan Hadlorotussyaikh KH. Mufid Mas’ud kepada KH. Farhanh ketika pertama kali meminta izin untuk mengikuti MTQ maupun STQ. Dan pesan itu akan selalu disampaikan KH. Farhan kepada santrinya yang akan mengikuti STQ maupun MTQ.

“Semua itu berkah kemurahan Allah dan berkah do’a para guru kami, lebih khusus lagi do’a dari Hadlorotussyaikh KH. Mufid Mas’ud”, tutur KH. Farhan Usman menutup perbincangan dengan penulis. (M. Maqshudi)